DIRGAHAYU KORPRI ( 29 NOVEMBER 2023 )
Setidaknya, ada tiga agenda penting yang perlu dilakukan oleh
Korpri dalam upaya meningkatkan mutu dan bobot pelayanan publik yang mesti
disosialisasikan secara gencar kepada segenap jajaran warga Korpri. Pertama, meningkatkan keterampilan profesional pegawai.
Entitas profesionalisme akan tampak pada sosok pegawai yang cekatan dan
terampil mengemban tugasnya di lapangan. Upaya merekrut calon pegawai hendaknya
lebih diperketat melalui uji keterampilan yang selektif sesuai bidangnya
masing-masing, sehingga tidak lagi merasa “gagap” setelah menyentuh tugasnya di
lapangan. Upaya ini mesti didukung oleh kinerja dunia pendidikan yang mampu
menghasilkan out-put yang
memiliki basis kognitif, afektif, dan psikomotorik andal.
Kedua,
mengekstensifkan dan mengintensifkan wawasan pegawai. Sebagai salah satu
“pilar” pembangunan, tugas rutin pegawai di lapangan akan semakin “afdol” jika
ditunjang dengan wawasan dan visi yang luas. Upaya memberikan kesempatan
belajar dan pemberian beasiswa studi lanjut bagi para pegawai yang potensial
perlu lebih digalakkan. Selain itu, setiap pegawai hendaknya memiliki hasrat
belajar secara simultan dan berkelanjutan, baik lewat buku maupun kehidupan,
untuk lebih meningkatkan aktualitas diri sesuai bidang tugas yang digelutinya.
Ketiga, mempertinggi
integritas kepribadian pegawai. Munculnya mentalitas korup dan tidak jujur yang
dibingkai kepentingan dan pamrih sempit, boleh jadi lantaran keringnya
integritas kepribadian, sehingga merasa tak berdosa ketika melakukan setumpuk
dosa dan penyimpangan moral.
Melahirkan pegawai yang
tinggi integritas kepribadiannya jelas menjadi tantangan tersendiri bagi Korpri
di tengah-tengah semakin dahsyatnya pola hidup konsumtif, materialistis, dan
hedonis yang melanda kehidupan global saat ini. Dalam hal ini, Korpri harus
lebih gencar lagi dalam mengakarkan kode etik “Panca Prasetya Korpri” kepada para pegawai,
sehingga tidak terperangkap menjadi slogan moral yang kehilangan nilai
spiritualnya. Kode etik tersebut harus mendarah daging dan bernaung-turba ke
dalam nurani pegawai, tidak cukup sekadar dihafalkan tanpa penghayatan dan
pengamalan.
Sisi lain yang penting
dicermati adalah tak henti-hentinya “meniupkan” roh spiritualisme ke dalam dada
warga Korpri. Dengan semangat spiritualisme yang terus memancar, warga Korpri
akan semakin optimal mengemban tugas sehinngga tidak mudah tergoda untuk
melakukan tindakan “konyol” yang bisa meruntuhkan namanya sebagai seorang abdi
negara dan abdi masyarakat.
Dengan demikian, menjalani
profesi sebagai pegawai negeri tidak semata-mata berupa pelepasan energi fisik
untuk menghasilkan sesuatu, tetapi pada tugas tersebut juga melekat faktor
spiritual. Selain menghasilkan sesuatu, mereka juga dapat mengekspresikan diri
dalam melaksanakan tugasnya yang berfungsi sebagai simbol menjadi sebuah “kode”
yang menunjuk nilai atau makna tertentu (Sartono Kartodirdjo, 1994:105).
Nilai kesalehan, baik
pribadi maupun sosial, agaknya bisa menjadi resep mujarab dalam mencegah
berjangkitnya “penyakit” moral. Dengan landasan spiritual yang tinggi, tanpa
ada pengawasan melekat pun seorang pegawai tidak akan mudah tergiur dan tergoda
untuk melakukan tindakan tercela, sebab setiap gerak-geriknya senantiasa merasa
diawasi oleh Yang Maha melihat.
Agar bisa memberikan mutu
pelayanan yang baik kepada publik, pengejawantahan nilai-nilai kepemimpinan
luhur perlu menjadi sebuah keniscayaan bagi pegawai negeri. Agaknya, insan
pegawai negeri, khususnya para pemimpin di jajaran birokrasi, bisa becermin dan
sekaligus mengambil hikmah dari nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam ajaran Asthabrata,
sebuah ajaran luhur tentang perilaku hidup yang pernah diterima Arjuna dari Begawan
Kesawasidhi. Ajaran ini mengandung delapan watak alam yang bisa
dijadikan sebagai “simbol moralitas” manusia modern di tengah-tengah dahsyatnya
gerusan nilai global yang gencar menawarkan gaya hidup konsumtif,
materialistis, dan hedonis.
Pertama, watak bumi
(simbol karakter manusia yang mau memeratakan kekayaannya kepada siapa pun
tanpa pilih kasih). Kedua, watak
matahari (mampu memberikan penerangan, kehangatan, dan energi secara merata
kepada mereka yang membutuhkan). Ketiga, watak
bulan (mampu membahagiakan orang lain dengan penuh sentuhan kelembutan cinta
dan kasih sayang terhadap sesama). Keempat, watak
angin (bersikap adaptif dan bisa bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan
status, agama, atau ras).
Kelima, watak
samudra (mampu menampung keluhan, aspirasi, dan masukan orang lain dengan
tingkat kesabaran yang tinggi). Keenam, watak
air (bersikap adil dan ikhlas, tidak arogan, tidak mau menang sendiri, dan
memiliki semargat persaudaraan yang tinggi terhadap sesama). Ketujuh, watak api (memiliki
kekuatan pelebur yang mampu memecahkan masalah yang muncul). Dan kedelapan, watak bintang (tegar,
tangguh, dan tidak mudah tergoda untuk melakukan perbuatan tercela).
Agaknya, nilai-nilai dalam
ajaran Asthabrata terkesan “perfeksionis” dan terlalu berlebihan
diharapkan dari figur seorang pegawai negeri. Untuk bisa direalisasikan pada
tataran praktek dibutuhkan perhatian serius dan kesadaran tinggi. Akan tetapi,
jika komitmen dan tanggung jawab moralnya senantiasa ditujukan semata-mata
untuk kepentingan bangsa dan negara serta seluruh masyarakat, nilai-nilai luhur
tersebut bukan mustahil akan menjadi entitas jatidiri warga Korpri yang pada
gilirannya akan muncul sosok pegawai yang bervisi kerakyatan, kemanusiaan,
kejujuran, dan tidak korup.
Di tengah-tengah arus
globalisasi, visi dan misi yang mesti dipikul Korpri sebagai satu-satunya wadah
non-kedinasan bagi pegawai negeri memang tidak semakin ringan. Dalam kondisi
demikian, Korpri mesti bersikap terbuka terhadap kritik sehingga tidak akan
terjebak menjadi sebuah organisasi yang kaku dan tertutup.
0 Post a Comment:
Post a Comment